Piala Dunia Bukan Takdir Lionel Messi & Cristiano Ronaldo

Piala Dunia Bukan Takdir Lionel Messi & Cristiano Ronaldo

Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo memang sudah meraih segalanya di level klub maupun individu, tapi Piala Dunia mungkin bukanlah takdir mereka.

Peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan itu akhirnya didengar oleh Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, Sabtu (30/6).

Berbeda dari ratusan partai yang telah mereka lalui di level profesional. Kali ini suara yang terdengar terasa lebih memekik telinga, sampai membuat tatapan keduanya kosong seketika. Mereka sadar bahwa harapan terbesar buat seorang pesepakbola, lagi-lagi gagal digapai.

Apalagi jika bukan Piala Dunia. Ya, untuk keempat kalinya Argentina dan Portugal gagal berdiri di puncak dunia ketika mengusung Messi dan Ronaldo sebagai bintangnya. Dua pemain yang sempurna di level klub dan individu serta diperdebatkan sebagai GOAT (Greatest Of All Time).

Kunjungi : Agen Taruhan Sbobet Terbaik , Situs Judi DominoQ , Bandar Judi PokerQ

Argentina yang dikapteni Messi takluk 4-3 dari Prancis, sementara Portugal yang dikapteni Ronaldo tersungkur 2-1 dari Uruguay. Semuanya terjadi di fase yang tergolong dini, yakni babak 16 besar.

Kegagalan yang memang sudah tiga kali mereka derita sebelumnya, tapi kekecewaan menjadi jauh lebih besar pada Piala Dunia 2018 ini. Tidak lain karena Messi dan Ronaldo — walau level keduanya masih belum tersentuh pemain manapun — mulai memasuki periode akhir kariernya.

Messi, 31 tahun, bakal berusia 35 tahun di Piala Dunia 2022 esok. Sementara Ronaldo yang dua tahun lebih tua, akan menginjak usia 37 tahun. Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat, riskan rasanya melihat mereka masih berada di level yang sama empat tahun ke depan.

Menjadi sesuatu yang tidak mengejutkan, bilamana Messi sempat menyatakan gantung sepatu untuk kali kedua dari timnas jika gagal di Rusia. Ronaldo kemudian memberi isyarat serupa, sesaat setelah Portugal dipastikan pulang dari Negeri Beruang Merah.

Lantas apa yang salah dengan Messi dan Ronaldo, sehingga tidak bisa menyempurnakan kariernya dengan Piala Dunia? Jawabannya karena mereka tidak ditakdirkan. Terdengar klise, tidak berbobot, tidak berdasar. Namun itulah adanya, karena takkan ada habisnya jika kita terus menyinggung aspek teknis.

Perdebatan bisa dimulai dari stigma bahwa Messi dan Ronaldo yang disebut sebagai GOAT dipandang tidak mampu maksimal di pentas internasional. Faktanya, mereka merupakan topskor sepanjang masa timnasnya masing-masing.

Messi menorehkan 65 gol dari 128 caps, unggul 11 gol jauhnya dari pesaing terdekat, Gabriel Batistuta. Ronaldo lebih dahsyat lagi, lewat 85 gol dari 154 caps, menjulang 38 gol jauhnya dari topskor sebelumnya, Pedro Pauleta.

Gol tersebut juga tersebar di setiap turnamen akbar yang diikuti keduanya, walau memang tidak selalu di fase penting.

Perdebatan yang selanjutnya muncul adalah Messi dan Ronaldo tidak ditopang oleh rekan setim yang punya kualitas mewah, layaknya di Barcelona dan Real Madrid. Ada benar dan tidaknya.

Benar bahwa Argentina era Messi, bukanlah generasi terbaik dalam sejarah Tim Tango. Generasi Mario Kempes, Diego Maradona, bahkan Gabriel Batistuta, dipandang lebih baik dan lebih merata.

Sementara Portugal tak pernah dipandang sebagai negara sepakbola. Benar bahwa mereka pernah punya Eusebio, Rui Costa, Luis Figo, dan kini Ronaldo, tapi pamornya di Eropa saja kalah dari Jerman, Italia, Spanyol, Prancis, bahkan Belanda.

Namun mari perhatikan fakta ini: walau selalu kalah, generasi Messi adalah yang pertama membawa Argentina lolos ke tiga final turnamen akbar secara beruntun, sedangkan generasi Ronaldo secara fantastis hadirkan trofi internasional perdana untuk Portugal pada Euro 2016 lalu.

Apa yang kemudian membuat Messi dan Ronaldo selalu gagal di Piala Dunia adalah sialnya, di era mereka selalu ada tim yang secara kolektif lebih baik dari Argentina dan Portugal.

Publik kadang lupa sepakbola merupakan permainan tim, permainan kolektif. Banyak yang menganggap segalanya selesai, ketika sebuah tim dibela Messi dan Ronaldo. Faktanya tidak demikian.

Italia pada 2006, Spanyol pada 2010, dan Jerman pada 2014, tidak membutuhkan sosok sebesar Messi atau Ronaldo untuk jadi juara dunia. Namun secara tegas, mereka membuktikan lebih baik dari Argentina – Messi dan Portugal – Ronaldo di tiga edisi Piala Dunia yang lalu lewat permainan kolektif.

Pun halnya di edisi 2018 ini. Secara sederhana dan dengan segala hormat, jika tolok ukurnya adalah Piala Dunia, Messi dan Ronaldo bisa dikatakan lahir di era yang salah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Comments links could be nofollow free.